HUKUM MENGHORMATI SANGI MERAH PUTIH



Hemat kami, tanah air itu bisa berarti sebuah desa, kota, pulau, dan negara, atau semacam tempat tinggal dan tempat kelahiran. Cinta tanah air merupakan sebuah naluri yang tertanam dalam sanubari setiap manusia. Semua orang pasti memendam rasa rindu saat lama pergi meninggalkan tanah airnya. Oleh karena itu, wajar sekali jika manusia normal sangat fanatik terhadap tanah airnya dan segala hal yang berhubungan dengannya seperti budaya, bendera, dan lagu kebangsaan.

Akar Masalah

Mengenai bendera tanah air atau negara, ada sebuah tradisi banyak negara termasuk Indonesia yang sangat dikecam oleh sebagian sekte (Wahabi) yaitu penghormatan kepada sang bendera serta lagu kebangsaannya.

Menurut faham mereka (Wahabi), melaui fatwa kerajaan Saudi  yang bernaung dalam Lembaga Tetap Pengkajian dan Riset Fatwa pada Desember 2003, perhormatan kepada bendera adalah perbuatan bidah yang jelas haram. Ada beberapa alasan yang mereka sebutkan, antara lain: menghormat kepada bendera termasuk perbuatan bidah yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, menghormat kepada bendera bertentangan dengan Tauhid, menghormat kepada bendera merupakan sarana menuju kesyirikan, menghormat kepada bendera merupakan kegiatan yang mengikuti tradisi jelek orang kafir.

Dengan demikian, tradisi menghormat kepada bendera merupakan tradisi ahli neraka; setiap bidah adalah sesat, dan setiap kesesatan berada di dalam neraka. Kesimpulannya, tradisi menghormat kepada bendera adalah tradisi ahli neraka. Menggelikan sekali, jika mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia, masuk neraka gara-gara menghormat bendera. Oleh karena itulah, paham ini perlu diluruskan dengan menjelaskan terlebih dahulu arti bidah secara benar menurut syariat.

Pengertian Bidah
Bidah adalah perbuatan buruk yang amat dicela di dalam syariat. Ironisnya adalah ketika muncul sekolompok umat Islam yang dengan mudahnya melayangkan bidah kepada sesama umat Islamnya. Hal ini mungkin disebabkan cara pandang yang berbeda dalam mendefinisikan bidah, atau bisa juga karena tidak begitu memahami arti bidah yang benar menurut syariat.
Kata bidah secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat atau diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu. Dalam al-Quran, penciptaan langit dan bumi dikatakan bidah, karena Allah menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah berfirman, “(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh).” (QS. Al-Baqarah, 117)

Adapun mengenai arti bidah menurut syariat, maka ada begitu banyak definisi yang disampaikan para ulama, yang intinya satu yaitu setiap amaliah yang tidak memiliki landasan dalam syariat. Lalu apakah setiap amaliah yang tidak ada landasannya lantas tidak dibenarkan, diharamkan, bahkan disesat-sesatkan oleh syariat? Jawabannya tentu tidak. Ada banyak amaliah yang tidak ada landasannya dalam syariat tidak dipermasalahkan atau justru dibenarkan. Tidak semua bidah itu sesat/sayyiah. Imam asy-Syafii menyatakan bahwa bidah itu ada dua macam. Pertama, bidah dhalâlah (sesat) yaitu bidah yang bertentangan dengan al-Quran, Hadis, Ijma’, dan atsâr (perbuatan shahabat). Kedua, bidah hasanah (baik) yaitu bidah yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan al-Quran, Hadis, Ijma’, dan atsâr (perbuatan shahabat).

Sementara itu, Imam an-Nawawi membagi bidah menjadi lima macam:
1. Wajib. Contoh: Mencantumkan dalil-dalil ke dalam argumentasi yang menentang kemunkaran, kodifikasi al-Quran dalam bentuk mushhaf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat al-Quran dengan khat baru menggunakan titik dan baris agar tidak salah, kodifikasi Hadis-hadis Nabi, dan lain-lain.
2. Mandub. Contohnya: Shalat Tarawih secara berjamaah di bulan Ramadhan dan pengajian rutin.
3. Haram (sesat). Contoh: Menunaikan ibadah haji selain di Makkah, mengubah bentuk gerakan shalat, menambah atau mengurangi jumlah rakaat shalat, melakukan ritual sesajen untuk makhluk halus, merayakan hari besar-besar non-muslim, dan lain-lain.
4. Makruh. Contoh: Berwudhu dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5. Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama, termasuk menghormat bendera tanpa ada niat mengagung-agungkan atau memuliakan.
Sebenarnya tidak perlu kami jelaskan panjang lebar di sini karena sudah banyak artikel dan buku yang khusus menjelaskan bidah. Nah, sekarang kembali ke masalah, masihkah menghormat kepada bendera divonis bidah yang sesat dan bertentangan dengan agama atau juga termasuk perbuatan syirik?

Kesimpulan

Dalam kamus bahasa Indonesia, kata menghormati tidak sama dengan kata mengagungkan. Menghormati berarti menghargai, sedangkan mengagungkan berarti memuliakan atau juga menuhankan. Sehingga menghormati bendera bukan berarti memuliakan dan menuhankan bendera. Dari aspek bahasa sudah beda. Jadi, berdiri untuk menghormati bendera tergantung pada niatnya. Jika diniati sebagai penghormatan maka tidak ada masalah, akan tetapi jika diniati mengagungkan maka ini menjadi masalah.

Lagi pula, sejak dulu, penghormatan kepada bendera adalah wujud rasa syukur kepada Allah atas tegaknya kemerdekaan dengan lambang bendera, wujud rasa penghargaan dan penghormatan kepada para pahlawan yang telah mengorbankan harta, keluarga, dan jiwa raga mereka. Mayoritas mereka yang muslim, yang gugur dalam pertempuran membela tanah air adalah para syuhada dan orang-orang yang mulia di sisi Allah. Jika dilakukan dengan tujuan seperti ini, maka tradisi menghormat bendera serta lagu kebangsaannya sama sekali tidak bertentangan dengan syariat dan Tauhid, tapi lebih cenderung dikatakan sebagai perbuatan mubah. Tidak berdosa dan tidak pula diberi pahala. Wallâhu a’lam! (Sidogiri Media)

Komentar