Tampak seorang warga tengah melihat situs sejarah Kota Raja. Foto Dokumen Pribadi |
Bila
bertandang ke Kota Tanjungpinang, jangan lupa singgah ke Kota Raja, Hulu Riau, Sungai
Carang. Tempat yang juga bernama Kota Lama, tapi lebih dikenal di kalangan
masyarakat setempat dengan sebutan Kota Rebah. Destinasi wisata dan Cagar
Budaya yang satu ini sangat penting untuk dikunjungi. Tak kalah penting dengan
objek wisata lainnya yang ada di Kota Tanjungpinang, seperti Pulau Penyengat.
Kawasan ini
penting dikunjungi karena merupakan kawasan bersejarah. Dalam catatan sejarah,
dahulunya kawasan ini merupakan ibu kota
kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang atau bisa juga disebut sebagai ibu kota
negara. Tempat dimana sultan memerintah. Tapi memang,
nama Kota Raja ini masih belum populer seperti Pulau Penyengat. Karena tak
populer, pengunjung pun masih sedikit yang datang ke sini. Sehingga, Kota Raja
setiap harinya masih selalu sepi pengunjung.
Potret
sepinya destinasi wisata itu tergambar saat beberapa kali penulis berkunjung ke
lokasi. Terakhir pada tanggal 11 September 2019. Meski sepi, Kota Raja kini terlihat
terawat. Rerumputan tidak tampak tumbuh liar. Suasana di kawasan ini terlihat
asri dan teduh. Pepohonannya ribun. Sesekali
terdengar kicauan burung. Sesekali terdengar juga suara monyet.
Walaupun bernama
kota, namun suasana di Kota Raja saat ini sepi aktifitas, baik perekonomian
atau aktifitas pemerintahan, juga tak ada lagi bangunan-bangunan megah yang
berdiri layaknya kota. Kini Kota Raja adalah nama kota dalam sejarah. Bangunan-bangunan
yang dahulu berdiri megah, kini sudah tiada. Hanya tampak puing-puing dan situs
bangunan. Ada juga deretan makam tua. Itu menjadi bukti bahwa pernah ada
kejayaan di lokasi itu pada masa silam.
Di Kota Raja
ini, kita bisa melihat dan mengamati sisa-sisa reruntuhan bangunan. Sisa
bangunan yang memang usianya sudah tua. Bangunan tak lagi berdiri tegak
melainkan sudah roboh atau rebah. Oleh karena itu pula kemudian kawasan
tersebut belakangan dikenal dengan sebutan Kota Rebah, karena bangunannya yang
sudah roboh rata dengan tanah.
Tampak seorang warga tengah melihat situs sejarah Kota Raja. Foto Dokumen Pribadi |
Meskipun
roboh, namun di satu sisi tampak
masih ada struktur dinding bangunan tua yang bertahan tegak. Untuk menjaga agar
tak roboh, tampak dinding tersebut sudah disangga dengan batangan besi.
Berbatasan
langsung dengan sungai, maka sebagian sisi kawasan Kota Raja dikelilingi
pohon bakau atau mangrove. Ini justru menambah pesona tersendiri kawasan wisata
ini. Di Kota Raja juga terdapat beberapa unit rumah model lama. Mungkin
dibuat sebagai gambaran, dan pembelajaran bahwa seperti itulah rumah zaman
dahulu. Dinding rumah terbuat dari kulit kayu dengan atap rumbia bertiangkan
kayu.
Di sepanjang
pelataran Kota Raja, terdapat juga kursi tempat duduk. Ini tentu memudahkan
pengunjung yang ingin istirahat karena penat berjalan atau sekedar ingin
bersantai. Kemudian di satu sisinya juga terdapat pelabuhan atau dermaga yang
dibangun pemerintah untuk memudahkan akses wisatawan yang datang lewat jalur
laut. Namun umumnya, ke Kota Raja ditempuh lewat jalur darat. Jalan ke lokasi
juga sudah diaspal. Begitulah kondisi Kota Raja saat ini.
Ini tentu
berbeda dengan kondisi Kota Raja ratusan tahun silam. Kala itu, Kota Raja
adalah tempat paling sibuk dengan aktifitas manusia. Seperti aktifitas ekonomi
juga pemerintahan. Di sini juga berdiri istana yang megah, istana kerajaan atau
istana negara. Oleh karena itu pula, dulu kawasan ini saking sibuknya disebut
dalam bahasa Melayu sebagai kawasan rioh.
Sebagai
generasi masa kini, kita diajarkan untuk tidak melupakan sejarah. Bukankah
demikian? Oleh karena itu, mari kita ikut andil mempopulerkan kawasan wisata
ini sebagai kawasan wisata sejarah.
Ada beberapa
alasan kenapa wisatawan harus mengunjungi Kota Raja saat berwisata ke
Tanjungpinang. Terutama bagi para pemburu wisata sejarah, Kota Raja sangat
direkomendasikan penulis. Karena kekuatan kawasan wisata ini ada pada nilai
sejarahnya.
Bila dilihat
dari sisi objek memang tak terlihat lagi bangunan bersejarah yang berdiri
megah, layaknya masjid Sultan Riau di Penyengat. Di Kota Raja hanya terlihat
situs atau sisa-sisa bangunan kuno yang masih ada. Namun, tahukan
pembaca, bahwa sejarah Kota Rebah sebanarnya memiliki nilai jual yang tinggi.
Bahkan peneliti dari luar negeri pun mencatat dan meleniti situs kota tersebut.
Dalam
catatan sejarah, Kota Raja adalah kota kerajaan Melayu Islam pertama yang
dibina atau dibangun di Tanjungpinang, bahkan di wilayah Kepri, setelah
kepindahan ibukota dari Johor sekitar tahun 1673 masehi. Jadi kota ini adalah
ibu kota kesultanan dan pusat pemerintahan pada masa itu. Pemerintah Kota
Tanjungpinang mencatat tamadun di kawasan Kota Raja ini berlangsung dalam kurun
waktu sekitar tahun 1673 sampai 1805 masehi. Setelah dari sini ibu kota kerajaan
berpindah ke Lingga.
Plang nama situs sejarah Kota Raja. Foto Dokumen Pribadi |
Menurut
budayawan Kepri yang juga peneliti Abdul Malik dalam tulisannya berjudul Sungai Carang: Tapak Tuah dan Marwah
menegaskan bahwa Kota Raja dulunya adalah pusat pemerintahan, ibu kota kerajaan
atau negara yang besar kala itu. Dari Kota Raja ini juga sultan memerintah
dengan cakupan wilayah kekuasaannya hingga ke Malaysia dan Singapura saat ini.
Kesultanan itu adalah kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.
“Suatu masa
dahulu kawasan ini pernah menjadi pusat pemerintahan negara yang besar.
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang nama negara itu. Kawasannya meliputi seluruh
Provinsi Kepulauan Riau, beberapa daerah lain di Sumatera, dan sebagian besar
Malaysia, dan Singapura sekarang,” tulis Abdul Malik.
Kemudian
dari Kota Raja ini pula lahir nama besar Riau, yang sekarang dipakai oleh dua
provinsi sekaligus yaitu provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Nama Riau itu
dulunya digunakan untuk menyebutkan kawasan Kota Raja ini.
Pakar
sejarah Aswandi Syahri melalui tulisannya berjudul Benarkan Kota Rebah Istana
Sultan Mahmud? dimuat di Jantungmelayu.com yang dimuat pada tanggal 10
September 2017 memaparkan data peta figuratif kawasan hulu Riau di Pulau Bintan
Tanjungpinang koleksi Universitas Leiden Belanda. Dari data tersebut dia
menyimpulkan bahwa Kota Raja adalah kawasan yang disebut Riau dahulunya. Di
tempat inilah nama Riau itu asalnya. Kemudian berkembang digunakan menjadi nama
kerajaan atau kesultanan Melayu.
"Peta
figuratif itu sangat menarik, karena menjadi sumber pertama yang menunjukkan
dimana titik lokasi kawasan yang disebut Riau atau Riouw Lama itu di Pulau Bintan.
Dan kawasan itu tak diragukan lagi adalah situs sejarah yang kini kita kenal
sebagai Kota Rebah, Kota Lama dan Kota Raja," tulis Aswandi.
Sedangkan penyebutan
Riau sendiri berasal dari penuturan warga setempat. Kala itu Kota Raja sangat
ramai sehingga saking ramainya dalam bahasa Melayu disebut rioh. Dari kata rioh
itulah kemudian menjadi cikal bakal penyebutan kata Riau.
Jelas, Kota
Raja ini adalah kawasan wisata yang potensial untuk dikembangkan dengan pondasi
nilai sejarahnya. Bila dikembangkan dengan baik Kota Raja tentu akan ramai
pengunjung. Sehingga akan meningkatkan perekonomian masyarakat dari sektor
pariwisata.
Tampak seorang warga tengah berjalan di kawasan situs sejarah Kota Raja. Foto Dokumen Pribadi |
Namun,
sebagai kawasan wisata, tentu pemerintah harus melakukan upaya unutk menarik
minat pengunjung atau wisatawan datang. Diantaranya dengan menjadikan kawasan
Kota Raja ini sebagai kawasan wisata terpadu, yakni wisata sejarah, wisata
alam, dan wisata kuliner.
Sebagai
pelengkap wisata sejarah, pemerintah harus membangun museum di kawasan
tersebut. Museum harus menyimpan koleksi benda-benda sejarah yang terkait
dengan Kota Raja, sperti naskah masa lalu yang berkaitan dengan Kota Raja, peta
masa lalu, foto masa lalu, denah kota, dan batu-batu yang digunakan untuk
membangun kota dan lainnya.
Selain
wisata sejarah, kawasan Kota Raja bisa dijadikan kawasan wisata alam yakni
wisata mangrove. Karena masih dalam kawasan tersebut terdapat mangrove yang
tumbuh nan indah dan alami.
Wisata alam mangrove ini sempat ada dan meramaikan kawasan ini beberapa tahun silam, tepatnya saat
Suryatati A Maman menjadi Wali Kota Tanjungpinang. Hanya saja pelantar wisata
mangrove yang dibangun dari kayu lapuk dan roboh dimakan usia. Kini pelantar
belum kembali dibangun oleh pemerintah. Sehingga wisata mangrove itu pun
tinggal kenangan. Wisata mangrove ini sangat potensial dikembangkan kembali.
Keindahan tanaman mangrove di sekitaran kawasan Kota Raja layak untuk dijual
kepada wisatawan.
Kemudian
wisata kuliner harus melengkapi kawasan wisata tersebut. Handaknya di kawasan
ini dibangun restoran dengan pemandangan mengarah ke Sungai Carang. Sehingga
sambil menikmati makanan, wisatawan bisa menatap sungai bersejarah. Santap di
Kota Raja, Hulu Riau, menjadi kenangan tersendiri.
Restoran ini
juga hendaknya menyajikan menu-menu masakan andalan Melayu. Sehingga wisatawan
bisa menikmati makan dengan kuliner khas Tanjungpinang setalah berjalan-jalan
keliling lokasi wisata. Di restoran ini juga harus dilengkapi dengan outlet
penjualan oleh-oleh khas Melayu.
Selain itu,
pengembangan kawasan wisata terpadu ini juga harus mengedepankan konsep kawasan
wisata ramah anak. Sehingga kawasan wisata ini juga bisa menjadi sarana edukasi
atau pendidikan sejarah bagi anak-anak usia sekolah.
Mudah-mudahan
Pemko Tanjungpinang dan Pemerintah Provinsi Kepri bisa mewujudkan konsep wisata
terpadu ini. Memang untuk ini semua membutuhkan waktu dan dana yang tidak
sedikit, tapi bila ada keinginan tidak ada yang mustahil untuk diwujudkan.***
#tanjungpinangkampoengkite
Referensi:
Dedi Arman. Asal-Usul Nama Riau
Aswandi
Syahri. Benarkan Kota Rebah Istana Sultan
Mahmud?
Abdul Malik.Sungai Carang: Tapak Tuah dan Marwah. 21/12/2013
Komentar
Posting Komentar